Kamis, 10 Februari 2011

aku anak bangsa, bapakku presiden


entah mengapa akhir-akhirr ini aku kebanyakan mendapat inspirasi buat nulis cerita yang bertema kan sosial?
Apa mungkin karena aku lagi nggak terlalu memikirkan masalah percintaan (maklum lagi ngejomblo...)
jadi, buat parakancil diblog ini untuk beberapa halaman kedepan maka yang ada hanya tulisan yang bernuansakan sosial. ni dia judul yang pertama ceck it dot!!



Aku anak bangsa, bapakku presiden!!


Matahari terlalu dekat di kepala ku. Deru mesin kendaraan bermotor yang berlalu-lalang memekakan telinga.
Seperti ikan-ikan dalam aquarium penuh, semua manusia sejenisku berdesakan untuk sekedar bernapas. Yang katanya udara segar tak berwarna dan hanya mampu dirasa, kini menjelma menjadi noda hitam yang berselubung dan berhamburan . ironinya semua kesejukan kini sekedar menjadi legenda yang telah disiapkan untuk anak cucu kelak.

Dibawah halte yang jelas sekali tak terawat, ku layangkan mata mencari celah diantara keramaian.
Para pengemis tua, pengamen jalanan, pedagang rokok dan anak-anak penjajak koran di jadikan tontonan sedih.
Mataku tertuju pada salah seorang anak diseberang jalan, tertunduk lemas ditrotoar sambil menggenggam tumpukan Koran, sesekali terlihat helaan napas didadanya.
Kuhampiri dirinya sembari menyodorkan uang 10 ribuan.
“ini buat kamu”
Anak itu terkejut yang kemudian menatapku.
“abang mau beli Koran?”ucapnya polos.
“tidak usah, saya hanya memberikan uang ini buat kamu?”
“oh.. terima kasih bang..” dengan raut wajah gembira ia menerima pemberianku.
Tak ingin cepat beranjak, akupun duduk disebelahnya.
“kamu tidak bersekolah?”
“ tidak lagi bang, orang-orang seperti aku cukupnya hanya mengenal uang, itupun hanya antara uang seribuan sampai dua puluh ribuan saja.”
“kamu tidak punya orang tua?”
“ada bang, tapi Bapakku orangnya sibuk. Dia memikul tanggung jawab atas para penduduk yang jumlahnya kurang lebih 231 juta jiwa. Jadwalnya yang padat membuat Bapak sering tak memperhatikan aku lagi. Dipersimpangan ini, aku sering menunggu dan berharap semoga Bapak melintas dan singgah sebentar untuk membawaku keluar dari dunia papan catur ini. Tapi kenyataan nya sungguh berbeda, beberapa waktu lalu bapak pernah melintas di jalan ini, tapi malang seminggu sebelumnya kami malah disembunyikan di balik baju dinas para anak buahnya yang meneriakkan PENERTIBAN!!. Walau hanya mengintip, tapi tetap ku bisa merasakan kehadiran Bapak didalam mobil Mercedes-benz tipe S600 keluaran tahun 2008 yang katanya merupakan kendaraan lapis baja yang tahan terhadap serangan senjata.
Andai bapak dikala itu mau membuka kaca mobilnya, tentu aku akan berlari, melompati gedung-gedung tinggi dan melambaikan tangan sembari berteriak kearahnya agar ia bisa menyadari akan keberadaanku disana” ungkapnya.

Fenomena merebaknya anak jalanan merupakan persoalan yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan sebenarnya bukanlah pilihan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif.

Aku terdiam dan terkagum pada anak yang berbaju lusuh dan bertampang dekil itu.
“apa kamu tidak marah dengan Bapak mu?” tanyaku lagi.
“tidak bang.. aku tidak marah. Mungkin memang seperti inilah cara Bapak memeliharaku. aku hanya menangis disaat merasa sakit, dan disaat ini bagaimana saya bisa menangis? Bapak saja tidak pernah menemuiku apa lagi memukulku. Air mata ini tidak akan sempat menetes, keburu kering disengat matahari dan keburu beku didera dinginya malam. Sebenarnya ingin kuhadiahkan gulungan kertas yang berisikan nilai-nilai prestasi atau mungkin medali emas dan perak yang membanggakan. Tapi tentu langkahku tak sejauh itu, ku hanya mampu menunjukkan tarian jalanan, nyanyian peminta belas kasihan dan mungkin harus menabrakkan diri ke tiap kendaraan hanya untuk mendapatkan sedikit perhatian”

Aku mulai merasa iba.
“Bapak kamu sekarang dimana, biar abang temui dia..” tanyaku dengan nada gerah.
Anak tersebut malah kembali tersenyum, kemudian memperhatikan diriku yang saat itu hanya mengenakan kaos dan celana jeans.
“mmm.. tidak mungkin bang?” jawabnya ketus.
“lo.. mang kenapa?”
“abang membutuhkan jas hitam dengan dasi yang tersimpul rapi, sepatu kulit yang berseri serta meninting tas hitam yang berisikan berkas-berkas pengaduan dan aspirasi rakyat (terkadang berisi Playstation portable juga). Kemudian berkumpul di dalam gedung hijau yang besar dan megah itu , lalu mulai tersenyum palsu dan melobi lah pada kalangan-kalangan berkedudukan melalui berbagai organisasi yang mementingkan keuntungan pribadi, barulah kemudian abang menjadi pantas menemuinya”

Semua pernyataannya membuatku bingung.
.“memangnya siapa sich kamu?” tanyaku ketus
Anak itu kemudian berdiri dihadapanku dengan menempatkan koran dagangan didada nya dan kemudian berkata
“aku adalah anak Bangsa, Bapakku Presiden!” jawabnya tegas dan polos sembari berlari dan membaur bersama kebisingan dan kemacetan saat itu.

Seminggu kemudian aku kembali ketempat itu mencari keberadaan anak penjajak koran tersebut, namun tak jua kutemukan. Yang kudapat hanya sayup-sayup kabar dari seorang wanita tua dekil yang membawa keranjang sampah di pundaknya.
“kemarin.. ada salah seorang anak jalanan yang biasa menjual koran dipersimpangan ini tewas tertabrak mobil” ucap wanita tua itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar