Kamis, 10 Februari 2011

kunang-kunang pulau seberang



Belum juga ia turun dari atas gedung rumah bertingkat itu. Matanya masih berair, duduk sembari mengelus betisnya yang merah menyala. Sesekali terdengar sedu, menahan perih dari dera yang terpahat dikulitnya.
Pandangannya menerawang jauh menembus kelamnya malam tanpa rembulan, tapi tak mampu menembus hitam dari hitamnya hati mereka sang penyiksa.
Dermaga itu….
Tampak gagah dengan mercusuar yang menjulang kelangit gelap.
Menjelma menjadi impian yang sulit tersentuh. Mencoba berlari melompati pagar tapi sungguh tak ada daya, pagar rumah itu lebih tinggi dari harapan yang pernah ia iktiarkan saat pertama kali melangkah turun di pulau ini.
Hanya segenggam harapan,semoga dipulau ini ia bisa merubah kehidupan menjadi lebih baik. Tak banyak pilihan pekerjaan yang ditawarkan padanya yang hanya seorang perempuan yang tak lulus SMP.

Seberkas sinar kelip-kelip perlahan mendekati
“wahai manusia, apa yang sedang kau lakukan di atas sini?”
“aku sedang bersembunyi dari segala dera dan siksa yang menantiku dibawah. Aku tak sanggup menghadapi ini” perempuan itu menempatkan rapat kedua lututnya ke dada.
“aku sering berkeliaran disini, memancarkan cahaya kelip-kelip sebagai tanda peringatan sebab seringnya aku mendengar tangisan, raungan dan ratapan ditiap malam-malam tanpa rembulan seperti ini. diatas sini kau takkan temukan apa-apa, hanya hamparan langit gelap. Jadi sebaiknya kau turun saja” sayapnya berkepak dan berdenging ditelinga.
“aku takkan turun, biarkan aku disini hingga pagi. Kamar dibawah tidak cukup aman bagiku. Bila malam seperti ini, pintu tersebut sering sekali diketuk. Pria paruh baya yang kupanggil ‘tuan’ selalu mencoba masuk. Aku tak mau hal seperti dulu terulang lagi, saat pintu kamarku lupa dikunci” perempuan itu menadah keatas, diwajahnya tersirat rasa jijik dan benci yang diselubungi ketakutan.
Binatang berkelip itu terbang menari mengitarinya, mencoba memandikannya dengan cahaya. Itu bukan noda!! itu luka-luka yang akan terus membekas ditubuhnya. Binatang berkelip itu sudah tak terlihat lagi, cahaya nya padam ditelan sinar yang benderang saat matahati muncul dari ufuk timur. Perempuan itu kemudian melangkah turun menggunakan tangga bambu yang semalaman menunggu.

Waktu berlalu mengganti hari. Dimalam ini perempuan itu kembali menaiki genteng, tapi terasa sulit baginya karena kakinya yang bengkak dan berdarah. Tak lama binatang berkelip itu datang lagi menghampirinya. Binatang itu terkejut saat cahaya menyentuh wajah dan seluruh tubuh perempuan itu. Pipinya yang lembam membiru, pelipis yang bengkak sebesar bola ‘golf’ mensipitkan mata nya yang merah berair, bibirnya tampak pecah dan berdarah. Tak tersembunyikan pula luka bekas sulutan rokok disekujur tangannya.
“aku ingin mati! Mungkin dengan menggantung diri atau mengiris nadi, tidak dengan siksaan yang membuatku merasakan mati yang berkali-kali. Tapi aku ingat Tuhan? Yang pastinya membenci semua tindakan bunuh diri” wajah perempuan itu tampak makin sembab.
“apa yang terjadi padamu dibawah sana?”
“sesuatu yang takkan mau dialami orang lain. Pukulan dan siksaan yang selalu kuterima sebagai tempat pelampiasan kekesalan mereka setiap kali aku dianggap salah. Kehidupan anjing peliharaan, serasa lebih terhormat daripada kedudukanku dimata mereka!. Perlakuan kasar yang kuterima membuat jiwa tak mampu menjerit, hanya bisa mengerang menahan sakit”. Perempuan itu mengeluh kesah.
Binatang berkelip itu menurunkan frekuensi kepakan sayapnya, lalu hinggap diatas lutut perempuan tersebut.
“aku ingin kesana! Kembali pulang kenegeriku diseberang lautan” tangan kanan perempuan itu menunjuk kearah dermaga.
“tak banyak yang bisa binatang kecil seperti aku lakukan untuk membantu, selain memberi seberkas cahaya dan sayap kecil yang ku punya. Mungkin bisa membawamu terbang, walau ku tak tau sampai seberapa jauh”.
Binatang berkelip itu beralih terbang ketelapak tangan perempuan tersebut. Ia melepas sepasang sayapnya lalu langit berubah secara drastis, rembulan muncul dari balik awan dan menerangi seluruh kota.
Terang bulan…
Ternyata tak hanya perempuan itu yang sedang berada diatap rumah, tapi banyak perempuan-perempuan lain yang juga terlihat tengah berbicara dengan seekor binatang berkelip diatap masing-masing rumah dipenjuru kota itu.
Tak lama setelah melepaskan sayapnya, cahaya binatang tersebut pun perlahan meredup dan padam.
“terima kasih wahai binatang kecil” ucap perempuan itu sembari memasangkan sayap pemberian tersebut ke punggungnya.
Perempuan itu kemudian berlari dan melompat dari atas atap rumah, begitu juga yang dilakukan oleh perempuan lainnya. Mereka terbang saat sayap kecil tersebut berhasil terkepak. Mereka terbang menjauh meninggalkan kota menuju dermaga dan melintasi lautan, tapi sayang.. sayap tersebut ternyata tak mampu membawa mereka lebih jauh lagi. Akhirnya mereka jatuh satu persatu di tengah lautan dan tenggelam didasar kegelapan yang paling dalam bersamaan dengan purnama yang padam ditelan malam.
Mereka menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelip-kelip keluar dari lautan dan terbang menghiasi malam-malam dipulau tersebut.
Semua rintihan tangis dan keluh kesah mereka kini tiada pernah sampai menyentuh daratan hati sanubari para penguasa negeri. Kini tenggelam dalam hitam kisah mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar