Kamis, 18 Agustus 2011

Pandang ia kala tidur, kau kan tau sebuah rahasia

Kedua jarum penunjuk waktu sudah saling bertemu di pertengahan. Rembulan benar-benar berada di puncak langit memandangi sebagian dari manusia yang masih saja terjaga.

“dari mana nak?” tanya seorang ibu yang dari tadi menunggu anak bungsunya, walau sampai terkantuk-kantuk dan tak menyadari kalau setetes demi setetes darahnya telah dijarah oleh yamuk-nyamuk yang terus hiruk-pikuk di sekitarnya.

“dari rumah andra” andi masuk kedalam kamar kemudian keluar lagi sambil mengenakan sweater hitam, “malam ini aku akan menginap di rumah andra”

“ngapain nak, nanti ayahmu marah” tergurat sedu di wajah seorang ibu yang mencoba menahan langkah anaknya untuk beranjak keluar.
Ibu memahami benar watak suaminya. Ayahnya tidak suka kalau anak-anaknya sering berkeluyuran malam-malam. Apalagi sampai menginap di rumah orang tanpa ada alasan yang jelas.

Andi berhenti, membalikkan badannya dan menatap ibu yang berdiri di belakangnya.
“kenapa dirumah ini, aku merasa seperti di batasi” andi menggerutkan dahi “aku kan sudah dewasa!”tambahnya.

Ia berbicara seolah mengerti benar tentang kedewasaan dan makna kebebasan yang sebenarnya ia baca dari coretan-coretan di tembok dalam gang rumahnya.
Sebuah makna yang harus juga ia ketahui cara menyikapinya.
Sesaat kemudian, suara deru roda bergumal dengan kerikil dan dentuman kayu-kayu tua penyangga gerobak telah menghentikan debat ibu dan anak.
Suaminya pulang, ibu memahami jelas derap langkah kaki itu.

“assalamualaikum”

“waalaikumsalam” ibu menyahut salam.

Ayah masuk dengan wajah lesu. Tampak jelas kalau ia sangat lelah sekali. Ibu membantu membereskan dan membawa masuk sisa dagangan yang tidak habis terjual.
“mo kemana di?” ayah menatap pada andi yang sedang berdiri di depannya.

“aku mau nginap dirumah andra malam ini”

“tidak usah! buat apa kau bertandang dirumah orang. seperti nggak punya rumah aja”

Ayah melarang keinginan andi apalagi ketika ia mendengar nama andra. menjual makanan keliling adalah pekerjaan ayah. Mungkin karena itu, Dia tau benar masalah-masalah yang sering dibicarakan oleh orang-orang kampung, terutama tanggapan orang tentang andra yang dikenal berperangai kurang baik. Pernah beberapa kali warga melihatnya berpesta minuman keras bersama teman-temannya yang berasal dari luar kampung.

“kalian semua sama saja! Aku seperti di penjara dirumah ini” andi meninggikan suaranya.

“kau!!…” suara ayah terputus dan tak sadar tangan kanan nya sudah terangkat sejajar dengan kepala hendak menampar andi.

Namun hal itu urung dilakukannya. Andi berbalik dan berjalan masuk ke kamarnya. Entah sengaja atau tidak, pintu kamar berdentum cukup keras sempat mengejutkan ibu yang hanya mampu mengusap-usap dada. Ayah hanya berdiri tertagun mencoba menahan emosi yang saat itu merongrong di kepala. Kakinya terasa begitu lemas seakan kehilangan daya untuk mengangkat berat tubuhnya, dengan tergopoh-gopoh ia merebahkan tubuhnya diatas tikar yang sudah tergelar di ruang tamu.

Andi mengumpat di dalam kamar, beberapa kali genggaman tangannya dipukul-pukulkan ke bantal sebagai pelampiasan kekesalannya.

***
Khairul melangkah masuk lewat pintu belakang. Di pagi seperti ini, biasanya ibu telah bangun untuk menyiapkan sarapan dan bersiap berangkat ke pasar untuk belanja keperluan rumah dan dagangan ayah nanti.

“sarapan nya apa bu?” khairul menghampiri ibu yang sedang merobek bungkus mie instant.

“kau sudah pulang rul, sebentar lagi mie rebusnya siap” ucap ibu pada anak lelaki kedua nya yang baru saja pulang dari piket malam sebagai satpam disebuah perusahaan swasta. Khairul masuk keruang tamu dan mendapati ayahnya yang sedang tertidur di ruang tamu. Ia kembali ke dapur dan menghampiri ibu yang sedang mengangkat mie rebus yang telah matang.

“ayah kenapa tidur di ruang tamu bu?” Khairul menarik sebuah kursi dan mendudukinya.

Ibu meletakkan mangkuk yang di genggam nya ke atas meja makan. Ia duduk dan menceritakan segala hal yang terjadi malam tadi pada Khairul. Mendengar segala cerita dari ibu nya dan melihat air mata itu jatuh membasahi pipi seorang ibu sungguh membuatnya tidak tenang. Serasa tak mampu di telannya mie yang telah di hidangkan di atas meja. Namun emosi yang merasuk masih tetap mampu dikendalikan olehnya.
Ibu berangkat ke pasar setelah membuatkan segelas teh manis untuknya. Dengan segelas teh manis hangat, Khairul mencoba menenangkan diri.

Andi sudah bangun. Dia berjalan menuju ke kamar mandi
melewati Khairul yang sedang duduk di meja makan.

“ndi, sini sebentar” Khairul memanggil nya, sesaat setelah ia keluar dari kamar mandi,
“kau berkata kasar ya sama ayah?”

“enggak ah…” jawabnya dengan tertunduk.

Khairul adalah abang yang paling dia segani. Di bandingkan abang sulung nya yang telah menikah dan sekarang tinggal di luar kota.

“kau tak usah menyangkal. Ibu sudah menceritakan semua nya sama abang” Khairul menunjukkan tatapan serius.

“Taa…pi..” andi belum sempat menyelesaikan ucapannya...

“karena sikapmu, sampai ibu menjatuhkan air mata nya” ucap Khairul memotong.

Andi hanya terdiam dan menundukkan kepala saja.
Khairul beranjak dari tempat duduknya dengan langkah yang agak dipelankan, ia mengajak Andi menuju keruang tamu
Khairul menunjuk pada ayah yang masih tertidur.

“kau lihat wajah itu.. kenalkah kau siapa dia?” ucap Khairul dengan suara yang sedikit dipelankan.

“tentu saja aku tau, itu kan Ayah” jawab Andi yang bingung dengan maksud pertanyaan yang di lontarkan oleh abangnya.

“kalu begitu, sanggupkah kau melihat air mata menetes membasahi wajah itu. Sanggupkah kau mengusir senyuman dari bibir itu dan sanggupkah kau berkata kasar di hadapan dia yang kau panggil Ayah”

Andi terdiam, seperti ada sesuatu yang masuk kedalam dada nya. Menusuk-nusuk di jantungnya dan perlahan mendaki ke atas kepalanya.

“kau lihat tangan itu… berapa kali kau menciumnya”
Andi tak mampu menjawab dan juga tak mampu memalingkan pandangannya. Ia terus menatap pada Ayahnya yang masih tertidur.

“dengan tangan itu, ia sudah memelukmu berkali-kali. Membangkitkanmu berkali-kali ketika kau terjatuh. Mengajarimu tentang hal yang belum kau ketahui dan berkali-kali menuntunmu kembali pada jalan yang sebenarnya disaat kau hampir salah jalan”

Andi mulai tak kuasa menahan gejolak yang menyesak di dada dan perlahan mencoba mendesak keluar dari matanya. Menahan perasaaan itu membuat wajahnya memerah.

“kau lihat kaki itu… pernah kah kau memijatnya”

Sekali lagi andi tidak mampu menjawab. Lidahnya serasa kaku dan membatu, tiada kata yang bisa terucap dari mulut ini ketika sebuah jiwa dilanda perasaaan bersalah.

“Dengan kaki itu, ia mengayuh pedal becak bertahun-tahun, berkeliling desa hanya untuk keluarganya. Bertahun-tahun memikul beban dengan berpijak hanya pada kedua kaki itu… kaki itu…”

Air mata jatuh di pipi Andi. Membasahi nurani dan hatinya yang sempat kering. Hasratnya serasa ingin menggenggam kedua tangan pria yang sedang tertidur di hadapannya. Berucap kata maaf dan menangis di pelukkannya. Namun ego masih saja menjadi pengganjal, membuatnya tak mampu melakukan itu.
Andi berjalan ke kamar meninggalkan Khairul yang berdiri di sampingnya.
Ia tak menahan langkah Andi, seakan ia menyudahi kata-katanya.
Khairul tau benar….
Kalau Andi sekarang telah memahami maksud dari perkataan yang di ucapkan pada nya.Air mata yang menetes di pipinya sebagian tanda dari luapan rasa bersalah.


kandang kancil.18 agustus 2011