Senin, 13 Juni 2011

parakancil toing to de beach

Langit tampak indah di malam itu. Bintang-bintang berhamburan tiada yang mengutip. Rembulan bersinar nyaris satu lingkaran penuh.
Di warung Bu ‘balap’ kami hanya berkumpul dan serasa bosan.
“Ni malam kita ngegokil di pantai yuk?” ucap Manyu memecah keheningan yang sejenak hampir menguasai kami.
“mang nya mo ngerayain apaan? Syukuran atas sunattan mu yang kedua ya” sambut Zul.
“Pala mu! habis dong kalo dipotong lagi”
Semua tertawa mendengarnya.
“Nggak ngerayain apa-apa, hanya saja dirumah ku ada ayam yang bisa kita panggang. Gimana kalo kita bawa ngembun kepantai dan makan rame-rame disana” jelas Manyu.
“Nah, kalo itu boleh juga” sambut ku yang dari tadi asyik online di handpone.
“Kau tu, kalo udah masalah makanan, kupingmu langsung dengar” ucap Zul.
“He..he.. maklum masa pertumbuhan. Aku kan juga tergabung dalam ‘MAMI WABAH’”
“Perkumpulan apaan tu?”
“Makan Minum Wajib Banyak”
“Mm..dasar ‘MENTAH APAJA!” balas Zul.
“Kalo itu apaan pulak?”
“Manusia Entah Apa-apa Aja!!”
Manyu beranjak untuk mengambil ayam di rumah nya.
Setelah berkumpul kembali, maka tanpa persiapan apa-apa kami pun berangkat dengan menaiki sepeda motor masing-masing.
Satu jam perjalanan sudah dilalui, akhinya tiba juga dipantai. suasana tidak terlalu ramai.Tak perlu menyewa gubuk sebab pemilik nya sudah tertidur pulas.Dipilih gubuk yang dekat dengan pantai, walau terbuat dari kayu tapi lantai nya di buat tinggi hingga tak menyentuh kepasir.
“Udah tunggu apa lagi, kita buat api nya” teriak om Tengku.
“Ayo lah, da laper ni. Klen buat dulu tempat bakarannya biar aku ama mawan yang cari kayu bakar” ucap ku.
“Ha..kita! cari kayu dimana?” Mawan kaget sembari memandang ke sekeliling pantai yang hanya bersinarkan rembulan.
“Mm…takut kali kau! Potong aja barang mu kasih bebek” ejek ku.
“Enak aja. Ni buat masa depan, ntar bini’ ku mo dikasih apa?” jawabnya.
“Kasih TERONG!” jawab yang lainnya serentak.
“wkwkwkwkwk…” Susana penuh dengan gelak tawa.
Mawan dan aku akhirnya bergerak juga kebelakang gubuk buat mencari ranting-ranting kayu yang berserakan di tepi pantai dengan bermodalkan senter kecil dari handpone ‘jadul’nya Mawan.
“Cil..cil..lo lihat tu, da cewek dua orang bergerak kemari?” ucap Mawan.
“Mana wan, coba ko lihat kaki nya? Ntar cewek jadi-jadian”
“Gak usah bercanda ko cil..” ucap Mawan dengan nada ketakutan.
Kedua sosok perempuan itu sampai juga di hadapan kami.
“Bang, lagi ngapain? Temenin kami dong” Tegur salah seorang dari mereka.
Sinar senter ku arahkan ke mereka.
“Astagfirullah al azim” ucapku kaget, ternyata mereka anggota ‘LENTIK’(lelaki berpenampilan cantik).
“Mbak keliaran gini bisa di bawa petugas satpol PP lo..”
“hewan kale ‘keliaran!. Mang nya mo mereka bawa kemana?”
“Ya mungkin di bawa ke kantor dinas sosial”
“Kalo kami sich dibawa kemana saja oke, asal tarifnya cuocok” tukasnya dengan tangan nya yang genit menyentuh wajahku.
“wih!!maaf mas..eh..maaf mbak..lain kali aja, kami lagi sibuk” tambah ku sambil menarik tangan Mawan dan beranjak pergi.
“Hei berondong, mau kemana?” teriak mereka.
Kami tertawa terbahak-bahak di sepanjang jalan dengan rasa tak habis pikir.
“Wah gilak tu orang, merinding awak di buatnya. Serem nya udah mengalahin hantu” ucapku.
”Tapi ko suka kan di pegang-pegang..”ejek Mawan.
“iiii,,,ogah!”
Setelah tiba, ranting yang kami bawa pun langsung diserahkan ke ndul yang sudah selesai membuat tempat bakaran.
“gila! Kami tadi melihat seseorang yang nggak pake baju”
“Dimana..dimana?”ucap Ndul.
“Di gubuk sebelah sana, kami dekatin terus kenalan”
“Iya cil, PSK ya, bohai nggak?”
“Bodi nya sich BOHAI banget. kalo nggak salah nama nya Bambang!”
“@#$#%$^ING”maki ndul, “itu sich BENCONG” tambahnya.
Ndul melanjutkan kegiatannya dengan raut jengkel.
Api telah di hidupkan dan ayam pun sudah ditusuk dengan bambu.
“garam nya mana?” tanya ku.
Semua saling pandang sambil mengerutkan dahi. Tak ada yang membawa bumbu-bumbunya. Suasana menjadi hening sejenak.
“Udah sini biar ku garami” Ndul merebut ayam dari genggaman Zul. Ia berjalan kearah air. Karena tak ingin basah, jadi ia hanya mencelupkan ayam tadi ke dalam air yang merapat ke pantai.
“Nah.. udah asin nih!” ucap Ndul sembari menaruh ayam tadi diatas api.
Kami semua hanya tertagun, mencoba memahami maksud pikirannya.
Tanpa banyak berpikir lagi, sisa ayam yang lainnya pun kami celup kan juga ke air laut mengikuti cara ndul.
Setelah lama menunggu akhirnya semua ayam telah habis di bakar dan sekarang memasuki acara makan-makannya. Kami membentuk lingkaran diatas gubuk dan ditengahnya di hidangkan ayam bakar.
“Saat nya makan” teriak Tengku mengkomandoi.
Tangan sigap kami bergerak meraih potongan-potongan ayam bakar. Kondisi menjadi ricuh, semua berebutan untuk mendapatkan bagian yang lebih besar.
“TUTTTT!!!!!”suara desus terdengar di sela-sela keributan dan tercium bau yang tak sedap.
“mm… bau apaan ni?” ucapku.
“iya, bau kentut ni!”
Suasana mendadak tenang dan semua mata tertuju pada satu orang.
“NTELL!!” teriak kami semua.
“He…he… maaf, masuk angin. Lagian kalian makan aja pun pake’ rebutan.” Ungkap Ntel.
Angin pantai menepis bau tak sedap tadi. Kegiatan makan pun dilanjutkan dengan lebih tenang dan mengutamakan rasa berbagi.
“kruk…krutuk…krikk…krutuk..”
Kunyahan kami bercampur gigitan pasir.
“mm.. gara-gara kau lah ni Ndul. Jadi makan ama pasir awak jadinya” protesku.
“Udahlah..anggap aja pasirnya membantu proses pencernaan” ucap om Tengku yang tampak lahap menyantap ayam bakar yang berpasir.
Akhirnya habis juga disantap beserta pasir-pasirnya. Sekarang waktunya turun buat nyanyi-nyanyi di samping api unggun.
Zul yang memainkan gitar dan sisa nya bernyanyi dengan suara khas masing-masing.
Perutku yang sudah kenyang, membuat mataku tak mampu lagi menahan kantuk.
“wooaam..aku ke gubuk dulu ya?” ucapku sembari beranjak.
Ternyata si Ndul, Mawan, Manyu dan Ari sudah tergeletak di gubuk mencoba untuk memejamkan mata ditengah serangan nyamuk-nyamuk yang beringas.
“Woi..geser dikit napa?” teriakku menggoyang-goyang kan kaki Mawan.
“Mm..ganggu aja ko cil. Nggak muat lagi nih” balas Mawan.
“Geser dikit aja.. habisnya ‘bumper’mu besar kali pulak”
“Nggak bisa, udah sempit kali, lagian aku lagi nggak enak badan ni”
“Mang ko kenapa?”
“Kepala ku agak pening”
“Ko sakit ya..muntah-muntah nggak?”
“Tadi pagi sich muntah”
“Buang air besarmu bagaimana?”tanya ku seolah-olah ngerasa sebagai dokter.
“Kalo buang air besar sich seperti biasa, JONGKOK!”
“Mm..dasar!”
“Habisnya ko banyak tanya, da cem dokter aja! Sana…sana…”
“Yaudah kalo nggak mo geser”
Aku mundur selangkah kemudian berteriak dan melompat kearah mereka
“serangan mendadak!!”
Karena hentakkan ku yang terlalu keras dan juga bobot kami yang berat, tiba-tiba terdengar suara.
“BRUKK!!!” lantai kayu gubuk itu patah dan rubuh.

“oala woi…apa pulak pulak ulah klen tu” teriak Tengku yang berhenti bernyanyi.
“Gara-gara kau lah ni cil” ucap Ndul mencoba bangkit.
“He..he..maaf..maaf..” ucapku nyeleneh.
“Tu maka nya jangan tidur. Masa’ ke pante buat ngembun tapi klen pada ngorok!” ejek Zul.

“Yaudah.. nyanyi-nyanyi aja kita sini” paggil om Tengku.
Akibat itu ngantuk kami mendadak hilang. Kami berempat kemudian ikut bergabung bersama Zul, om Tengku, Pusek, dan Ntel.
Tak terasa hari mulai terang.
“Woi, da pagi ni balek yuk? Ntar yang punya gubuk ke buru bangun” ucap Ntel.
Semua pandangan mengarah ke gubuk.
“Wah! Parah. Hancur betul gubuk tu klen buat”ucap Manyu dengan polosnya.
“Kabur!!” teriak om Tengku.
Semua bergegas keparkiran dan melajukan sepeda motornya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar