Kamis, 27 Oktober 2011

Seorang buta untuk suami anakku

Seorang buta untuk suami anakku
Oleh: efendi ( Razan_zahir )



Ia sering melamun di teras rumahnya. Memandangi burung-burung yang bermain saling berkejaran. Hinggap di dahan-dahan pohon mangga nya yang sudah berbunga.Daun-daunnya bergoyong terhempas tubuh seekor burung yang bersembunyi di balik rindangnya. Suasana begitu sepi, tidak terlihat lagi anak-anak bermain kelereng di halaman depan mungkin dikarenakan hari yang sudah beranjak menuju malam.


“Yah, ini teh nya” ucapan syahrah membuyarkan lamunannya.


Syahrah adalah anak perempuannya satu-satunya. Setelah kematian istrinya, maka tinggal ia sendirilah yang harus menjaga anak semata wayangnya itu. Usia syahrah sudah terbilang matang untuk seorang gadis dapat segera menikah. Membangun bahtera rumah tangga dan segera memberikan seorang cucu buatnya yang sudah mulai renta agar suasana yang sepi di rumah ini dapat tergantikan tawa dan keceriaan anak-anak. Namun, hingga sekarang belum juga ada seorang pemuda pun yang datang melamar anak gadisnya itu. Hal inilah yang menjadikan kegusaran berkecamuk di hati nya. Kekwatiran orang tua terhadap kebahagiaan anaknya, Ia takut kalau sampai anak gadisnya menjadi perawan tua.


“ayah sedang memikirkan apa?” tanya syahrah. Setelah menyuguhkan minuman, ia tidak beranjak masuk melainkan duduk menemani ayahnya.


“ayah sedang memikirkan kamu nak…” ia menarik napas panjang seperti ada sesuatu yang menyempitkan rongga pernapasannya. Di serutnya sedikit-sedikit teh manis yang dibuatkan untuknya.


“jangan terlalu ayah pikirkan. Allah pasti akan menunjukkan jodoh yang terbaik untuk syahrah” ungkap syahrah yang mengerti apa sebab kegelisahan yang mengganggu di pikiran ayahnya.


Bukan nya tanpa usaha, jalan perjodohan pun pernah dilakukan. Beberapa kali saudara-saudaranya pernah membawa lelaki untuk dikenalkan kepada syahrah. Namun setelah pertemuan, tidak ada seorang pun diantara pemuda-pemuda itu yang datang kembali untuk melanjutkan silahturahmi. Ya.. mereka menolak syahrah.


“maaf… sepertinya saya tidak akan cocok dengan anak gadis bapak” seperti itulah ucapan yang terlontar dari mereka.


Penolakan pemuda-pemuda itu bukan nya tanpa alasan. Mereka mungkin saja terkejut setelah bertatap muka dengan syahrah.
Ya.. wajah syahrah memang tidak cantik, ia mengalami cacat pada bentuk wajahnya sudah dari lahir, meski begitu ia tidak pernah marah atau benci setiap ada oarang yang merasa jijik atau mencibir dirinya. Sedari kecil ia sudah terbiasa mendengar ejekan dari orang lain. Wanita jelek, orang aneh, si buruk rupa, bahkan ada yang menyebutnya dengan kata-kata yang lebih tak enak lagi untuk di dengar.


“biarkanlah yah.. itu hak mereka untuk menjauh. Semoga Allah selalu memberi ketabahan buatku”


**
Suatu kali datanglah seorang ibu dengan menuntun seorang pemuda yang gagah. Namun ternyata ia seorang pemuda buta. Pemuda itu kehilangan penglihatannya sebab kecelakaan yang pernah di alaminya.
Meskipun buta, pemuda tersebut terlihat begitu sopan. Sebelumnya ia adalah seorang pengajar di sekolah dasar, namun setelah penglihatannnya hilang maka saat ini ia bekerja seada nya, bahkan menjadi seorang tukang pijit.


“adapun maksud kedatangan saya adalah untuk melamar anak gadis bapak sebagai isteri buat anak lelaki saya ini. Rahman, namanya” ucap sang ibu mengungkap maksudnya.


Si ayah terdiam. Ia menimbang-nimbang di dalam hatinya. Matanya memandang kepada syahrah yang sudah duduk di sampingnya setelah selesai menyuguhkan teh. sepertinya ia tidak mampu memberikan jawaban yang tepat di saat hatinya sedang gelisah. Haruskah ia menikahkan anaknya dengan seorang yang buta. Apakah memang sudah tiada pemuda lain yang mau menerima kekurangan anak gadisnya itu.


“syahrah anakku…. Ku serahkan semua keputusan padamu”


Syahrah dengan nada bicaranya yang lembut menjawab.
“bilakah ia memang tulus melamarku. Maka tidak ada alasan bagiku untuk menolak. Semoga dirinya adalah jodoh terbaik yang di berikan Allah”


“bilakah benar engkau menerima, maka katakan lah Mahar apa yang kau inginkan?” ucap Rahman.


Syahrah dengan tenangnya berkata.
“pinang aku karena Allah, sanjung diriku dengan lantunan ayat suci Al Qur,an, hadiahkan padaku sebuah mukena dan bimbinglah aku dengan keimananmu”


**
Acara pernikahan dilangsungkan sebulan kemudian. Dengan sederhana dan bernuansa kekeluargaan yang kental. Setelah pernikahan, desas-desus di kalangan masyarakat pun mulai tersebar dan sungguh tidak enak di dengar.


“pasti sudah tidak ada lagi yang menyukainya. Maka nya orang buta pun diterima” begitulah parau suara di masyarakat.


Syahrah tidaklah memperdulikan perkataan dan cibiran orang terhadap keluarga dan dirinya. Baginya, menjadi seorang isteri yang baik untuk suaminya adalah tugas yang lebih mulia, tak perlu mendengar pendapat masyarakat terhadap keluarganya. Namun lain halnya dengan ayahnya, ia masih saja merasa ada kekwatiran. Walau terkadang rasa kekawatiran itu menghilang tatkala ia melihat anaknya begitu bahagia dan sepenuh hati melayani suaminya. Jauh di dalam hatinya, sesungguhnya dirinya juga merasa bahagia karena memiliki menantu yang Alim dan sayang kepada anak gadisnya itu meskipun menantunya itu hanyalah seorang yang buta.


Matahari mulai tengggelam. Cahaya nya dari balik pohon mangga sudah mulai menghilang. Disaat seperti ini, ia pasti sedang bersantai di beranda duduk menikmati suasana sore dan kali ini di temani syahrah. Menantunya yang buta sedang beristirahat di kamar.


“assalamualaikum…” ucapan salam terdengar dari halaman. Seorang pria berjalan menghampiri mereka.


“waalaikumsalam.”


“Abdul… silahkan masuk” ucapnya.


Pria tersebut adalah Abdul, paman dari suaminya syahrah. Ia bekerja sebagai pedagang dan tinggal jauh di luar kota. Setelah mempersilahkan duduk, mereka pun saling bercakap-cakap.


“gimana usaha mu, lancar kah?”


“alhamdulillah pak, lancar.”


Setelah berbincang sedikit. Selain untuk bersilahtuhrahmi, Abdul pun mengungkapkan maksud kedatangannya


“saya datang kemari untuk megajak Rahman ke kota. Ada teman saya, ia seorang dokter specialis mata. Saya ceritakan tentang kondisi mata Rahman padanya dan menurutnya, penglihatannya bisa di pulihkan kembali”


Raut wajah si ayah berubah. Ia seperti orang yang sedang kebingungan, ada sesuatu yang merisaukan hatinya.


“masalah biaya, biar saya yang menanggungnya” tambah Abdul.


Ia masih saja diam. Dalam kepalanya berhamburan prasangka dan kekhawatiran. Bagaimana tidak! Jika sampai menantunya bisa melihat lagi. Tentu saja ia akan dapat melihat wajah syahrah anaknya . Ia kwatir nanti menantunya itu akan menceraikan Syahrah dan meninggalkannya seperti pemuda-pemuda lain.


“tidak usah lah di dengarkan. Paling hanya harapan-harapan kosong yang mereka berikan” ucapnya berusaha mempengaruhi Abdul.


“ijinkan lah yah… bila memang ada harapan untuk suamiku bisa melihat. Maka biarkan mereka mencobanya, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tidak berputus asa” sahut syahrah dari arah pintu. Ia berjalan sambil membawa minuman.


“tapi…”


“syahrah mengerti ke khawatiran ayah. Aku pun menginginkan yang terbaik buatnya, Alhamdulillah bila suamiku bisa melihat kembali”potong nya.


Kembali ia hanya bisa terdiam. Ia mencoba menyakini perkataan anak perempuannya itu. Walau perasaaan kwatir masih saja berkecamuk di dalam kepalanya.


Tiba-tiba menantunya yang buta itu sudah ada di di depan pintu. Muncul dengan tergopoh-gopoh dan menjadikan dinding sebagai pemapah dan penuntun jalannya. Dengan sekejap syahrah menghampiri suaminya itu, kemudian di tuntunkannya ke kursi.


“dari tadi aku sudah mendengar pembicaraan kalian. Aku mengerti kerisauan ayah.” ia diam sejenak menarik napas panjang, “bagiku… dialah wanita tercantik. Meski mataku tiada melihat namun hatiku sunguh merasa. Ketaatan dan kepatuhannnya kepada Agama dan suaminya, menunjukkan padaku pekertinya yang baik. apalagi yang dicari seorang pemuda selain istri yang soleha. Apapun yang terjadi! Aku takkan melepas Syahrah”


Ia sungguh terkejut, mengetahui menantunya itu telah mendengar pembicaraan mereka sedari tadi. Ia masih tak sepenuhnya yakin dengan perkataan Rahman meski dia tahu kalau menantunya itu termasuk anak yang Alim. Namun apakah benar bila kelak menantunya itu dapat melihat kembali maka ia tidak akan meninggalkan istrinya yang tidak lain adalah anak gadisnya yang buruk rupa.


“bagiku, ia selayaknya Gaharu kehidupan, bakarlah.. maka mewangian di dalamnya akan semerbak menenangkan hatimu” tambah menantunya.


*
Senja terganti malam. Mata-mata terkantuk dalam lelap, semua manusia terhanyut dalam mimpi dan ketenangan hati. Kecuali dirinya, ia masih saja belum tertidur memikirkan prasangka dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada anak gadisnya esok hari. Kemudian tanpa sadar sekejap saja matahari sudah muncul kembali.


“hati-hatilah kalian di jalan. Semoga Tuhan menunjukkan hidayahnya”


Sebelum Zuhur mereka berangkat. Syahrah ikut menemani suaminya untuk berobat ke kota. Terik matahari menemani, kendaraan mereka perlahan hilang di ujung jalan dan Ia tetap berdiri melepaskan kepergian mereka dengan harapan bila kelak operasi mata itu berhasil maka ia meminta agar Tuhan tidak memutar balikkan hati menantunya itu.


Matahari terus bergantian berjaga dengan bulan, sudah sering kali bundaran merah di angkasa itu melangkahinya. Detik berganti menit pertanda waktu takkan pernah menunggu.Ia menatap pada jalan setapak menuju rumahnya, menantikan anak dan menantunya pulang dari berobat di luar kota. Rasa kegelisahan dan kekhawatiran terus saja membayanginya. Bilakah operasi mata itu berhasil, akankah masih ada menantu buatnya.
Apakah benar menantunya itu takkan meninggalkan istrinya apabila ia telah melihat?
Apakah….?
Ya, begitulah kekhawatiran selalu muncul dalam kepalanya seperti awan mendung yang terus menjatuhkan hujan.


Baru sesaat melayangkan pikir, derap kaki diatas tanah kering berkerikil membuyarkan segala lamunannya.
Ia bangkit dari tempat duduk nya. Menatap pada sepasang manusia yang berjalan ke arahnya. Aroma syurga semerbak kala itu, betapa cahaya yang begitu pesona muncul dari belakang tubuh mereka. Ya, menantunya telah pulang dengan menggenggam erat tangan syahrah. Betapa rona bahagia terlihat dari raut wajah mereka. Senyum itu mengembang seperti bunga yang sedang menikmati musim semi nya.


Sejurus angin yang mendesir di dekatnya, sebentuk suara lembut menggema di telinganya.
“Ayah, subhanallah… karena Allah telah membukakan kembali kedua mata suamiku tanpa menutup mata hatinya”


(kandang kancil, 2 oktober 2011)